Pendakian Pertama di Puncak 4000

Membangunkan Hobi Lama yang Tertidur
26 January 2024
by

Jepret! Kuabadikan keindahan pesona badan pesawat AirAsia melalui kamera ponsel saat berada di ruang tunggu Bandara Soetta Terminal 2. Aku menorehkan momen itu dalam status WhatsApp, merangkumnya dengan sebuah kutipan bahasa Inggis yang cukup populer:

“Hiking is the answer. Who cares what the question is. Bismillah.”

Yeah, Muncak Lagi!

Seperti sentuhan magis, respon teman-teman di lingkaran kecilku mengalir lewat balasan, mengisi udara dengan kehadiran tak terlihat namun dapat dirasakan.

Bismillah. Mau ke Kalimantan apa antum hari ini?”

“Beuh, hiking aja ke Spanyol, beda memang Bapak yang satu ini.”

Fii amaanillah. Semoga engkau selalu ada dalam lindungan Allah. Nepal?”

“Kemana Mas?”

Kinabalu. Puncak 4000 itu bernama Kinabalu. Gunung yang berada di Sabah, Malaysia dengan ketinggian 4095 mdpl itu telah memanggilku sejak tahun 2017. Namun baru di penghujung tahun 2023 aku berkesempatan untuk menyambutnya. Kini saatnya bagiku untuk menyongsong keheningan, melibatkan diri dalam ketenangan alam. Aku memutuskan untuk mewujudkan keinginan lama. Aku merangkak keluar dari zona nyaman. Aku ingin menapaki puncak Kinabalu. Itulah awal petualangan baruku untuk mendaki gunung yang masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO itu, dan aku hanya seorang pengembara yang mencari keindahan yang selama ini terpendam.

Tak terelakkan, rutinitas sehari-hari seringkali membuat kita melupakan atau menunda kesenangan yang dulu begitu kita nikmati. Namun, ada keajaiban ketika kita menyempatkan diri untuk kembali pada hobi lama. Melibatkan diri dalam kegiatan yang pernah menjadi sumber kebahagiaan membawa perasaan nostalgia yang memeluk erat.

Dengan tekad yang bulat, langkah pertama yang aku ambil adalah menghubungi sebuah biro perjalanan untuk mengurus segala persiapan. Aku mempercayakan segala detail perjalanan ke gunung yang megah itu kepada mereka. Ini memang pilihan paling mudah. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan rumit dan teknis. Memang bakal lebih mahal ketimbang mengurus sendiri. Waktu adalah hal berharga yang aku miliki saat ini, dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya dengan riset yang berlebihan. Dengan mempercayakan biro perjalanan, aku yakin segala sesuatunya akan diatur dengan baik tanpa memerlukan upaya ekstra dariku. Tiket pesawat, penjemputan di bandara, penginapan, perjalanan pergi-pulang Taman Kinabalu, ijin pendakian, semuanya diurus biro.

Semula, harapan bergelayut di benakku seperti awan yang terikat pada langit. Kuharap akan ada rombongan yang bersama-sama melakukan perjalanan ini, tetapi pada tanggal pendakian yang kupilih, kesunyian menjadi temanku. Aku harus berangkat sendiri dan aku harus merangkul kesendirian ini dengan rasa syukur, menyadari bahwa tiap langkah membuka lembaran baru dalam perjalanan hidupku. Dan, mungkin, di sana, aku akan menemukan bukan hanya puncak gunung, tetapi juga diri yang lebih utuh dan kuat di usiaku yang sudah mencapai ujung masa muda ini, 35 tahun. Bukan hanya puncak gunung yang kutuju tentu saja, tetapi juga puncak kebijaksanaan dan kedewasaan. Di setiap belokan jalanku, kutemukan cerita-cerita lama yang membentuk jalan hidupku, dan di setiap rintangan, kutemukan kekuatan yang baru teruji oleh waktu. 

Aku ingin aktif bergerak lagi. Aku ingin menggerakkan otot-ototku lagi yang mulai menyusut dan kehilangan kekuatannya. Tak lagi merasakan sentuhan aktivitas yang dulu begitu akrab. Aku ingin memperkuat otot-ototku untuk tulang yang lebih kuat, keseimbangan yang lebih baik, metabolisme yang meningkat, dan menjaga stabilitas dan fungsi sendi. If you don’t use it, you will lose it. Begitu kata orang.

Rasanya seperti membuka buku petualangan baru, di mana setiap halaman akan membawaku lebih dekat pada impian mendaki puncak tertinggi di Borneo itu. Petualangan menuju puncak gunung Kinabalu menanti, dan aku siap untuk menorehkan kisah cantik di sana. Kusadari bahwa aku belum melakukan persiapan yang cukup untuk kakiku. Sudah lama juga tidak berolahraga. Namun semangatku benar-benar mengalahkan persiapanku.

“Tanggal 25-28 aku ke Kinabalu, Mas.”

Begitu pesan singkat WA yang aku kirim ke salah seorang teman pendaki yang pernah naik bareng ke gunung Merbabu dan Ciremai.

“Wah… jauh amat, Man. Malaysia? Jadi ke Prau kah kita?”

“Iya Mas ke Malay. Paling Januari Mas kalau mau ke Prau.” 

Ya, sebelumnya sebenarnya sempat ada wacana untuk naik ke gunung Prau dulu untuk pemanasan. Tetapi entah kenapa keinginanku ke Kinabalu begitu kuat. Waktunya juga tepat walaupun mendadak. Sudah lama juga tidak ke luar negeri dan naik pesawat. Pokoknya Kinabalu dulu, baru Prau.

“Ok, Man. Nanti kabar-kabar aja ya.”

“Ok, Mas.”

Pada malam sebelum keberangkatan ke Malaysia, aku menginap di hotel dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Langit di luar jendela menawarkan pemandangan luar biasa dari perjalanan bintang-bintang. Hati berdebar seperti rembulan yang perlahan muncul di langit malam yang gelap. Keindahan cahaya rembulan yang tenang, seolah menggambarkan getaran rahasia di dalam lubuk hati. Dalam keheningan malam, rasa harap dan kegembiraan menyatu, sebagaimana rembulan mengukir senyuman di kegelapan langit. Setiap denyut jantung, seperti getaran lembut sinar rembulan yang merayap, membawa nuansa keanggunan di dalam setiap langkah kehidupan. 

Aku bangun pukul 3 pagi. Langkah pertama di hari itu, setelah membersihkan diri kuarahkan hati untuk merapikan segala hal, mulai dari menghadap Illahi yang membawa ketenangan dalam rapi kusutnya pikiran. Aku mengenakan pakaian dengan penuh perhatian, membenahi setiap detail seakan menjalin kisah di atas tubuhku. Aku susun rapi barang-barangku, aku letakkan dengan cermat ke dalam tas. Paspor dan boarding pass, dua benda berharga yang akan menuntunku ke petualangan, kuperhatikan dengan teliti. Kutaruh di dalam tas pada bagian yang paling mudah untuk dijangkau.

Aku berusaha memastikan tak ada yang tertinggal, merentangkan pandangan di sekeliling sebagai ritual terakhir sebelum meninggalkan tempat ini. Aku melangkah dengan langkah yang ringan, memandang kembali lorong-lorong. Aroma kopi dan teh yang kutemukan di sana, kubawa sebagai kenangan yang terlukis dalam angan. 

Dengan langkah yang penuh antisipasi, aku bersiap-siap untuk melangkah menuju lobby hotel. Keberuntungan tersenyum padaku, seiring hotel yang kupilih menyediakan layanan shuttle gratis ke bandara Soetta. Sebuah perjalanan yang tak akan terlupakan, seakan berbicara dalam sorot mata waktu. Sungguh, sudah begitu lama aku tidak merasakan getaran pesawat yang menantang langit. Keberangkatan kali ini, seperti melibatkan hati yang terbangun dalam kegembiraan. 

Aku menghadapi keberangkatan dengan hati yang siap. Setiap langkah, setiap getaran, dan setiap detik adalah bagian dari puisi perjalanan ini. Aku melangkah, mengukir jejak di ruang dan waktu, siap merangkai kisah baru di langit biru.

Setelah berhasil melewati proses imigrasi melalui autogates, pemeriksaan barang bawaan, serta pengecekan paspor dan boarding pass oleh petugas, aku mulai mencari informasi mengenai gerbang keberangkatan pesawat yang akan aku naiki. Sayangnya, pada papan informasi yang tersedia, tidak ada informasi mengenai penerbanganku. Aku pun memutuskan untuk bertanya kepada seorang petugas, dan dia menyampaikan bahwa kemungkinan pesawatku akan berada di gerbang F1 atau F3. Aku disarankan untuk menunggu sejenak hingga informasi lebih lanjut diberikan.

Di ruang tunggu bandara, sambil tersenyum melihat layar ponsel, aku membalas pesan dari teman-teman yang memberikan komentar di status WhatsApp yang baru saja aku buat. Dengan antusias, aku menjelaskan pada mereka bahwa aku bersiap-siap untuk petualangan ke Kinabalu. Rasa gembira dan semangat menjelma dalam setiap karakter yang aku ketik, sebagai bentuk berbagi kebahagiaan dan membangun ekspektasi bersama.

Kata-kata yang kuterjemahkan lewat pesan singkat, mencoba menyampaikan getaran sukacita yang ada di hatiku. Aku ingin mereka merasakan kegembiraanku dan turut berbagi semangat menjelang petualangan mendaki gunung Kinabalu ini. Sederhana namun penuh makna, setiap pesan yang kutuliskan adalah pintu kecil yang kubuka untuk mengundang mereka ikut merasakan keindahan petualanganku yang akan segera dimulai.

Bismillahi majraahaa wa mursaahaa. Inna rabbii laghafuururrahiim. Sensasi ketinggian yang meningkat selalu menimbulkan getaran di hati, campuran antara kegugupan dan kegembiraan yang menyentuh setiap serat jiwa. Kembali merasakan pemandangan dari ketinggian, terbang di atas awan, sebuah perjalanan yang selalu menghidupkan lagi semangat petualangan dalam diriku. Mendaki gunung, hobi lama yang menjadi keceriaan tersendiri. I am so excited!

Dan ngeeeenngg… pesawat meluncur dengan semangat ke angkasa.

Saat-saat ini mengembalikan kenangan, membuka lembaran masa lalu. Teringat pada tahun 2016, di tanah Nepal yang mempesona, aku menapaki bukit Sarangkot di kota Pokhara. Sebuah perjalanan hiking yang membuka mata dan hati. Meskipun ketinggiannya hanya 1.600 mdpl, namun setiap langkah adalah cerita yang membawa kedamaian dan kepuasan batin. Aku berharap bisa ke Nepal lagi suatu saat nanti.

Berpandang ke belakang, aku menyadari betapa kemerdekaan di puncak gunung memberikan perspektif baru terhadap hidup. Begitu sederhana namun begitu indah, seperti kesederhanaan kata-kata doa yang terus terngiang di telinga. Setiap langkah mendaki, seperti lembaran yang aku baca di dalam perjalanan ini, mengingatkanku pada keindahan yang tak tergantikan. Bersyukur karena diizinkan untuk kembali mengejar mimpi di puncak-puncak yang memanggil dari kejauhan.

Penerbanganku adalah serangkaian perjalanan, sebuah kisah terhubung yang membawa aku melintasi batas-batas langit. Aku akan transit dulu di Kuala Lumpur (KUL) sebelum ke Kota Kinabalu (BKI). Dalam kurun waktu 2 jam, langit-langit pesawat menjadi saksi perjalanan singkat ini. Maka terasa, seperti sekejap, aku melaju di atas awan yang membentang.

Saat pesawat turun dengan gemuruh ke landasan bandara, nguuuunnggg… perasaan euforia dan kegembiraan menyelimuti diriku. Keduanya seolah menari di dalam dadaku. Aku telah sampai di bandara Kuala Lumpur.

Transit, sela indah antara destinasi, mengungkapkan bahwa perjalanan adalah tujuan itu sendiri.

Langkahku terhenti di surau. Tempat penuh ketenangan di mana aku menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat jamak qashar Dzuhur dan Ashar, menghadap Sang Pencipta sebelum melanjutkan pelayaran di angkasa.

Penerbangan selanjutnya akan membawaku menuju Bandara Internasional Kota Kinabalu, tempat yang pada masa Perang Dunia II menjadi saksi bisu pangkalan militer. Dan ketika pesawat mengudara lagi, hatiku sudah melangkah lebih dekat pada tujuanku, membawa harapan dan kegembiraan di dalam penerbangan yang menghubungkan langit-langit dengan rindangnya Kinabalu yang menantiku di ujung sana.

Saat kakiku menyentuh tanah di bandara Kinabalu, qadarullah mendapat kabar yang menguji kesabaran. Mobil driver yang seharusnya menjemputku mengalami mogok. Namun, tak berlalu lama, diutuslah seorang driver pengganti yang dengan sigap meluncur untuk menyambutku dan mengantar ke hotel. 

Selama perjalanan yang diwarnai kesibukan lalu lintas dan rintangan tak terduga, Mr. Chang, sang driver pengganti, menjadi pencerah dalam kegelapan momen tersebut. Dengan senyum ramahnya, dia mengajukan pertanyaan hangat tentang rencana perjalananku di Kota Kinabalu. Aku pun bercerita dengan semangat yang membara bahwa kedatanganku ke negeri ini adalah untuk mendaki gunung Kinabalu.

Beruntung sekali mendapatkan driver yang tak hanya piawai mengemudi, tetapi juga ahli dalam berbicara dan bercerita. Mr. Chang bukan hanya menjadi roda perjalanan ini, tetapi juga penuntun cerita yang membuka mataku pada berbagai destinasi wisata menarik di Kinabalu. Dalam perjalanan itu, setiap jalan yang kami tempuh menjadi benang yang menganyam kenangan indah di kota ini.

Sesampainya di hotel, aku meletakkan barang-barang pribadiku di sudut kamar yang nyaman. Dengan langkah yang mantap, aku mengenakan sarung dan peci. Secepat kilat, aku melangkah menuju masjid yang menjulang indah, bersemayam tak jauh dari tempat penginapanku. 

Setelah menunaikan sholat, dengan rasa syukur yang mengalir, aku melangkah ke ATM untuk mengambil uang secukupnya, menyiapkan bekal bagi setiap langkah perjalanan yang akan dihadapi, lalu menikmati makan malam di sekitar hotel. 

Kembali ke hotel, aku melangkah dengan perasaan sejuk dan keringat syukur yang mengalir di wajah. Aku merendam tubuh dalam pancuran air yang hangat, membasuh lelah dan merangkul ketegangan di otot-otot tubuh. Di atas kasur yang lembut, aku menyambut ketenangan malam dengan senyuman ringan, menyimpan energi untuk petualangan mendaki gunung Kinabalu yang akan dimulai esok hari. Bismika allahumma ahya wa bismika amut.

***

Duh, Kena ITBS

Bismillah. Pukul 6 waktu setempat, aku memulai perjalanan dari Kota Kinabalu menuju Kinabalu Park Headquarter yang berjarak sekitar 90 km, bersama pendaki-pendaki lain menaiki mobil travel. Dalam perjalanan panjang selama sekitar dua jam, aku memutuskan untuk merayakan setiap kilometer dengan menikmati pemandangan yang melintas di balik kaca mobil. Daun-daun pepohonan yang menari-nari di tepi jalan, langit biru yang bersahabat dengan awan putih, dan perbukitan yang menggoda mata dengan ketajaman warnanya. Setiap sudut memberikan cerita baru yang memancing senyum di hati.

Melihat tempat baru selalu menjadi obat yang mujarab untuk hati yang rindu petualangan. Itulah keindahan dari setiap perjalanan: kemampuan untuk membiarkan diri terbawa oleh pesona tempat-tempat yang belum pernah dijelajahi sebelumnya. Dan dalam dua jam itu, aku menyadari bahwa senangnya terletak pada kemampuan kita untuk menemukan kegembiraan bahkan dalam perjalanan yang tampak sederhana.

Tiba di Taman Kinabalu, langkah kami diarahkan ke pintu registrasi ulang, di mana senyum ramah petugas menjadi sambutan penuh kehangatan. Lalu diperkenalkanlah aku dengan seorang guide yang akan memanduku selama perjalanan mendaki. Dia adalah warga lokal, asli orang Kadazan-Dusun, yakni kelompok etnis di Sabah, Borneo.

Taman Kinabalu merupakan destinasi yang menarik bagi para pencinta alam dan pendaki.

Pemandu memberiku bekal makan siang, yang belakangan aku agak kecewa ternyata tidak ada nasinya. Isinya sayuran, potongan ayam, telor rebus, roti, apel dan air mineral. Sambil menyodorkan botol minuman hijau toska berkapasitas 500 ml, aku meminta tolong pemandu untuk mengisikan air panas. Dia memasuki suatu ruangan dan kembali dengan botol yang sudah terisi penuh. Tak lupa aku ucapkan terima kasih padanya. Ketika berada di gunung seperti ini, peranan air panas begitu vital, menjadi sumber kehangatan untuk tubuh yang terhempas dinginnya angin ketinggian.

Perjalanan dilanjutkan ke Timpohon Gate menggunakan bus. Timpohon Gate adalah pintu masuk utama pendakian gunung Kinabalu. Aku merasakan getaran kehadiran gunung Kinabalu yang tak sabar untuk diajak berdansa. Di pintu gerbang yang menandai awal petualangan ini, terukir tulisan “Selamat Mendaki”, yang menjadi sambutan penuh semangat, menggema di antara gemuruh pepohonan dan hembusan angin yang membawa harapan petualangan yang tak terlupakan.

Timpohon Gate, gerbang utama menuju ketinggian, memanggil dengan bisikan angin.

Pemandu menawarkan untuk membeli cemilan di Pondok Timpohon, namun tak perlu bagiku, sebab aku sudah siapkan snack seperti coklat, wafer, dan biskuit sebelum keberangkatanku ke Negeri Jiran ini. Aku juga sedang menjalani proses belajar yang menarik, yaitu tegas untuk mengucapkan kata “tidak”. Sebelumnya, aku seringkali mengiyakan hal-hal tanpa benar-benar ingin melakukannya, mungkin karena alasan tidak enak atau sebab lainnya. Namun, kini aku belajar untuk bersikap jujur pada diri sendiri, dan jika aku tidak benar-benar ingin melakukannya, aku katakan “tidak”. Lagipula, beli makanan di sini mahal.

Pendakian pun dimulai. Jalur awal menurun dengan lembut, dan setelah kira-kira setengah kilometer, hadirlah gemerlap air terjun kecil yang menyambut langkah-langkahku. Air terjun ini bernama Carson, diabadikan dari nama George Carson, penjaga pertama Taman Kinabalu. Namun, seiring dengan keindahan yang telah kurasakan, jalur pun mulai menanjak dan berliku, memintaku untuk melanjutkan perjalanan dengan semangat menghadapi segala tantangan. Jalur pendakian yang terorganisir dengan baik, dihiasi oleh pagar rapi dan beberapa bagian yang telah dilengkapi tangga kayu, memberikan kesan bahwa petualangan ini dapat dijangkau oleh siapa saja yang memiliki tekad dan semangat petualang.

Menempuh perjalanan sejauh satu kilometer dari Timpohon Gate, akhirnya sampai di shelter atau pos pertama, Pondok Kandis. Setiap shelter di Gunung Kinabalu dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, mulai dari tempat isi air minum, papan informasi kawasan, tempat duduk, tempat sampah, hingga tandu. Tak lupa, tersedia juga toilet yang terjaga kebersihannya.

Keberadaan toilet di Gunung Kinabalu ini adalah sebagai fasilitas yang meningkatkan kenyamanan pendaki. Toilet adalah salah satu simbol peradaban manusia modern. Demikian Bapak Ignasius Jonan, mantan Menhub, pernah menyatakan. Toilet menjadi fokus perbaikan utama saat Pak Jonan diangkat sebagai Direktur Utama PT KAI pada tahun 2009 silam dalam mengatasi masalah kereta api yang berantakan pada masa itu. Maka menurutku, adanya toilet di gunung Kinabalu menunjukkan bahwa gunung ini sangat terawat dan modern.

Nampaknya Indonesia dapat mengambil inspirasi dari Malaysia terkait pengelolaan dan perawatan gunung. Malaysia telah memperlihatkan komitmen yang kuat dalam merawat dan mengelola lingkungan di sekitar gunung, termasuk dalam hal fasilitas pendakian dan pelestarian alam. Pelajaran dari pengalaman Malaysia dapat menjadi panduan berharga untuk meningkatkan upaya konservasi dan pengelolaan destinasi wisata alam di Indonesia. Kesadaran akan keberlanjutan dan kebersihan lingkungan sangat penting untuk memastikan keindahan gunung dan alam Indonesia tetap lestari untuk generasi mendatang.

Papan informasi di pos pertama yang menggambarkan rute dan titik-titik penting menuju puncak yang menantang.

Shelter berikutnya adalah Pondok Ubah. Kawasan ini terbentuk dari batuan metamorf, yakni jenis batuan yang mengalami perubahan struktur, komposisi mineral, dan tekstur akibat tekanan, suhu, atau pengaruh kimia yang tinggi tanpa mengalami peleburan. Nama Pondok Ubah diambil dari salah satu spesies pohon jambu biji liar yang merupakan sumber makanan bagi tupai dan Lotong Merah atau Maragang yang dapat ditemukan di hutan area ini.

Di kawasan ini banyak terdapat lumut dan tumbuhan paku/pakis yang memiliki peran penting dalam ekosistem, membantu menjaga kelembaban dan menyediakan habitat bagi berbagai jenis serangga dan hewan kecil. Sebagai bagian dari keanekaragaman hayati di gunung Kinabalu, tumbuhan paku memberikan kontribusi pada keindahan dan ekologi gunung Kinabalu. Saat melakukan pendakian, para pendaki dapat menemukan berbagai jenis tumbuhan paku yang tumbuh di tepi jalur pendakian atau di sekitar Pondok Ubah ini.

Setelah menempuh perjalanan sejauh satu kilometer dari Pondok Ubah, langkahku membawa ke ketinggian 2286 mdpl di shelter berikutnya, yaitu Pondok Lowii. Nama Lowii diambil dari nama tanaman Nepenthes Lowii, yaitu jenis tanaman kantong semar yang memiliki hubungan mutualisme dengan tikus gunung, di mana tikus ini memanfaatkan cairan manis yang dihasilkan oleh tanaman untuk memperoleh nutrisi. Dalam prosesnya, tikus meninggalkan kotoran mereka yang kaya nutrisi di dalam kantong semar. Kantong semar kemudian mengabsorbsi nutrisi dari kotoran tersebut. 

Nepenthes Lowii ditemukan pada bulan Maret 1851 oleh seorang administrator kolonial Inggris bernama Hugh Low selama pendakian pertamanya ke gunung Kinabalu.

Di kawasan Pondok Lowii ini, dunia flora juga menawarkan pertunjukan eksklusif, yaitu Rhododendron. Bunga-bunga berwarna-warni menghiasi perjalanan, mengundang mata untuk menari dalam pesona alam.

Rhododendron bukan sekadar penjaga keindahan visual. Mereka adalah pahlawan yang mengemban misi menyimpan rahasia pegunungan. Berselubung dalam keindahan, tumbuhan ini menjadi saksi bisu perjalanan angin, hujan, dan matahari di ketinggian. Dalam gemulai daunnya, mereka menulis kisah panjang kehidupan gunung.

Rhododendron adalah penjaga pesona, menyejajarkan gunung Kinabalu sebagai panggung teater alam yang tak terlupakan. Dalam tarian bunga-bunga ajaib ini, gunung menjadi buku hidup yang terbuka, menceritakan perjalanan yang tak pernah habis dari waktu ke waktu.

Tiba di shelter keempat, Pondok Mempening, suasana berubah menjadi panggung kecil di mana kelucuan tupai-tupai menjadi pertunjukan utama. Satu demi satu tupai melompat dan berlarian menyambut kedatanganku. Mereka seolah membawa kehidupan dan semangat ke tempat ini, menari-nari dengan lincah di sekitar shelter.

Pondok Mempening, bukan hanya tempat perlindungan, melainkan juga panggung kebersamaan antara manusia dan satwa di tengah perjalanan di gunung Kinabalu. Keberagaman hayati di sini membentuk keseluruhan pengalaman pendakian, memberikan sentuhan ajaib pada setiap langkah.

Berikutnya, aku tiba di Pondok Layang-Layang. Nama Layang-Layang diambil dari burung Layang-Layang, Collocalia Dodgei yang sering terbang di area ini. Di pos inilah tempat yang menjadi pilihanku untuk makan siang. Banyak pendaki lain juga memilih pos ini untuk istirahat dan mengisi perut. Kulahap bekal yang diberikan oleh pemandu tadi pagi. Rasanya memang enak, namun, karena porsinya cukup besar, aku tidak mampu melahap semuanya dan menyimpan sisa untuk nanti. Sambil mencoba mengatasi dinginnya angin yang mulai menusuk, aku minum obat herbal cair yang kubawa.

Japanese or Chinese?” tanyaku pada seorang pendaki berwajah Asia yang duduk di sebelahku.

Chinese,” jawabnya. Aku kira dia dari Jepang. 

“From China?”, tanyaku kepo

“Singapore.”

Banyak orang Singapura yang kutemukan di sini. Mungkin karena Singapura tidak punya gunung, hanya bukit pendek, jadi mereka mencari apa yang tidak mereka temukan di negara mereka. 

Melihat aku menunjukkan ekspresi sedikit kepedesan, ia bertanya, “Pedes ya?”

“Iya,” jawabku sambil terus melanjutkan menikmati minuman herbalku. Rasanya tajam dan terasa sensasi “pedas” yang menyegarkan.

Ia ingin tahu apakah minuman itu untuk menghangatkan tubuh. Aku mengiyakan saja dan menjelaskan bahwa itu terbuat dari jahe dan bahan herbal lainnya, baik untuk menghangatkan tubuh maupun meredakan pusing. Padahal tadinya aku mau bilang untuk “masuk angin”, tapi bingung bahasa Inggrisnya apa. Setelah selesai dengan minuman herbal, aku berpamitan untuk melanjutkan pendakian.

Rute menuju pos berikutnya, Pondok Villosa, menghadirkan jalur berbatu yang menantang. Setelah mencapai Pondok Villosa, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak dan berbincang dengan pendaki lain. Sambil menikmati suasana, aku mengonsumsi camilan yang telah kubeli di minimarket ketika masih berada di Indonesia.

Dalam perjalanan mendaki di kawasan ini aku menemukan tumbuhan kantong semar, yakni Nepenthes Villosa. Sebagai tanaman karnivora, Nepenthes villosa menggunakan kantongnya untuk menarik, menangkap, dan mencerna serangga atau organisme kecil lainnya. Cairan pencerna dalam kantong berfungsi untuk mencerna dan menyerap nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, khususnya nitrogen. Aku yakin, bagi pecinta tumbuhan kantong semar, pasti akan sangat senang mengunjungi gunung Kinabalu.

Melintasi shelter ketujuh, Pondok Paka, aku merasakan ketidaknyamanan di bagian luar lutut atau paha bagian bawah. Rupanya aku kena ITBS atau Iliotibial Band Syndrome, yaitu kondisi yang terjadi ketika pita jaringan ikat yang panjang dan tipis yang berjalan dari pinggul hingga bagian luar lutut, mengalami peradangan atau iritasi. Segera, aku mengoleskan krim pereda nyeri dan memberi waktu cukup lama untuk beristirahat. Tampaknya, beberapa pendaki lain telah lebih dulu sampai di Laban Rata, tujuan terakhir pendakian hari ini. Setelah merasa cukup beristirahat, aku memutuskan melanjutkan perjalanan.

Kabut, keindahan sejati seringkali berselimut misteri. Seperti halnya perjalanan hidup, terkadang kita perlu bersabar dan membuka hati untuk menyaksikan keajaiban yang tersembunyi di balik kerumitan dan ketidakpastian. Kabut adalah pengingat bahwa keindahan sejati seringkali ditemukan dalam ketidakpastian.

Aku bertemu dengan seorang pendaki lokal keturunan India asal Kuala Lumpur. Aku harus akui orang-orang India yang aku temui mereka berbahasa Inggris dengan baik, walaupun kental dengan aksennya yang khas. Kami terlibat dalam percakapan hangat. Saat setapak demi setapak diatasi, obrolan ringan bisa menjadi sumber inspirasi, pengetahuan baru, atau sekadar tawa bersama. Tak jarang, kita menemukan kesamaan minat, tujuan perjalanan, atau bahkan mendapatkan tips berharga dari para pendaki berpengalaman. 

Di tengah-tengah obrolan, tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Allahumma shoyyiban naafi’aan. Dengan sigap, aku mengenakan jas hujan dan memberikan payung biru kecil pada pendaki tersebut setelah dia menjelaskan bahwa jas hujannya tertinggal bersama temannya yang masih di belakang. Hujan turun semakin lebat. Dengan menahan rasa sakit di kaki, akhirnya aku pun tiba di Laban Rata Resthouse, destinasi istirahat para pendaki. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihaat. Bagi para Muslim yang ingin melaksanakan sholat, tersedia surau di Laban Rata yang memiliki ketinggian 3.600 mdpl ini.

Setelah mendapatkan kunci, aku naik ke lantai atas menuju kamar nomor 4, sesuai instruksi resepsionis saat check-in. Namun, saat pintu kamar terbuka, badala… Di dalamnya, bukannya keheningan kamar kosong, melainkan keberadaan seseorang yang telah lebih dulu menempati tempat itu. Weh, siapa dia?

***

Berjuang dengan Waktu

Kamar penginapanku ada 4 ranjang, tetapi aku hanya akan berdua saja dengannya. Lelaki tinggi dan tidak berambut asal Jerman itu adalah teman sekamarku di penginapan Laban Rata. Meskipun dia berasal dari Jerman, dia mengaku akan pindah kewarganegaraan Singapura. Dia sangat menyukai Singapura, dari makanannya, orang-orangnya, lingkungannya, dan yang lebih menarik, alasan yang memikat hatinya adalah sistem pajak yang relatif rendah jika dibandingkan dengan Jerman.

Kami saling bertukar informasi mengenai pekerjaan masing-masing. Aku menjelaskan dengan antusias bahwa profesiku adalah seorang programmer. Dia, yang ternyata cukup akrab dengan dunia pemrograman, pun menanyakan bahasa pemrograman yang aku kuasai. Setelah itu, dia menyebutkan bahwa pekerjaannya mungkin akan membuatku membencinya. Aku penasaran, sempat berpikir mungkin dia bekerja sebagai Project Manager atau mungkin Quality Assurance, namun jawabannya membuatku terkejut. Dia adalah seorang IT Security.

Kami berbagi banyak cerita, mulai dari urusan pekerjaan, hobi naik gunung, pengalaman belajar bahasa Inggris, hingga hal-hal pribadi seperti pernikahan. Sebagai seorang Jerman, dia dengan tegas menyatakan ketidakminatannya untuk menikah dan absennya rencana dalam hidupnya untuk memiliki anak. Aku tidak begitu kaget mendengar penjelasannya. Ini mengingatkanku akan orang-orang yang pernah aku temui saat berada di Nepal, di mana kebanyakan dari para pendaki yang aku tanya mereka tidak tertarik dengan pernikahan. Itulah sebagian potret kehidupan di belahan Eropa sana.

Aku pun mengajaknya turun untuk makan. Sebelum kami meninggalkan kamar, dia bertanya apakah aku memiliki adaptor kaki tiga. Tentu saja, bahkan adaptorku tidak hanya berkaki tiga, tetapi malah bisa bertransformasi menjadi beberapa bentuk kaki. Benda penting yang wajib dibawa ketika berada di negeri orang. Aku bawa dua adaptor, jadi aku pinjamkan salah satu adaptorku untuknya.

Saat makan, kami tidak berada dalam satu meja. Dia duduk bersama pendaki lain, yang kemudian dia menceritakan kepadaku bahwa pendaki yang duduk bersamanya itu sebelumnya tidak bisa pergi ke puncak karena hujan lebat. Sementara aku duduk di belakangnya bersama dua orang Jepang. Aku mengobrol dengan mereka. Meskipun bahasa Inggris mereka kurang lancar, namun obrolan tetap seru karena ternyata salah satu dari mereka adalah seorang programmer berpengalaman lebih dari 20 tahun. Dia bekerja sebagai Programmer C++ yang menangani masalah firmware. Sungguh beruntung bisa bertemu dengan pendaki yang sejawat walaupun beda “aliran”.

Sambil ngobrol, kami bisa melihat pemandangan senja yang memukau di Laban Rata ini, ketika matahari mulai menari-nari di ujung langit. Pemandangan dari atas ketinggian selalu memberikan perasaan eksklusif dan menghadirkan keindahan yang tidak tergantikan, seakan mengajak kita untuk merenung dan mengapresiasi keajaiban dunia ini.

Waktu Maghrib telah tiba, aku menuju surau untuk menunaikan sholat. Aku menggabungkan sholat Maghrib dengan Isya. Karena ukurannya yang terbatas, kami harus sholat bergantian.

Aku harus segera tidur, padahal masih jam 7 malam. Itu karena besok harus muncak di awal pagi. Aku berpesan ke teman sekamarku kalau nanti dia bangun duluan, aku minta tolong dibangunin. Kalau aku yang duluan, dia yang akan aku bangunin. Kami pun sepakat dan mematikan lampu kamar.

Saat-saat yang gelap merayap perlahan-lahan hingga aku merasakan sentuhan dingin pada pukul 1 dini hari waktu Sabah, Malaysia. Dalam kesunyian malam itu, aku pun bangun, dan melaksanakan janjiku untuk membangunkan teman sekamarku. Aku tata kembali barang bawaanku. Aku tinggalkan yang tidak perlu. Dan kami pun bersiap-siap untuk makan sebelum summit attack. 

Ketika kami bersama-sama menikmati hidangan, teman sekamarku dengan penuh kepedulian bertanya tentang kondisi kakiku. “Masih terasa sakit.”, jawabku. Sebelumnya, aku telah menempelkan banyak koyo di sekitar paha dan bagian belakang lututku. Harus kuakui bahwa persiapanku untuk naik gunung memang kurang.

“Bagaimana kamu mempersiapkan pendakian ini?”, tanyaku sambil menyantap makanan di hadapanku.

Dia mengatakan bahwa dia latihan menggunakan alat fitnes dengan gerakan seperti naik tangga, berfungsi untuk melatih otot kaki, betis dan paha. Belum tergambar olehku bagaimana bentuknya. Dia pun menunjukkan gambar Stair Climber Machine di ponselnya. 

Sarapan selesai. Pukul 02.30 dini hari, aku dan para pendaki lain bersiap-siap untuk mendaki ke puncak. Keluar dari Laban Rata, suasana begitu dingin dan gelap. Headlamp para pendaki menyala, seolah-olah semuanya begitu antusias menyambut keindahan matahari terbit. Anyway, let’s hit the trails. And… see you on TOP!

Dengan jalurnya yang kebanyakan harus menaiki tangga, aku benar-benar luar biasa kepayahan karena menahan kakiku yang sakit. Selama mendaki, aku memegang pagar yang kebanyakan terbuat dari tambang. Sampai di tempat pemberhentian, nafasku tersengal-sengal. Berkurangnya kandungan oksigen dalam udara membuatku perlu beradaptasi dengan perubahan kondisi di ketinggian seperti ini.

Sampai di Sayat-Sayat checkpoint, saatnya melaporkan kedatangan dengan menunjukkan nametag. Agak lama istirahat di sini. Aku banyak minum dan makan coklat. Jalan masih panjang dan pendakian harus terus berlanjut. Semangat!

Hidung meler. Jantung terasa berdetak kencang. Kelelahan menerpa tubuhku, memaksa langkah-langkahku untuk berhenti sejenak. Pemanduku memberi nasihat dengan bijak, menyarankanku untuk tetap bergerak agar dingin tidak merayapi tubuhku. Aku berusaha untuk terus berjalan meski kaki sudah sangat lelah. Jangan sampai kena hipotermia atau kondisi ketika suhu tubuh menurun di bawah suhu normal. Ketika bergerak, otot-otot tubuh pun bekerja dan menghasilkan panas sebagai hasil dari metabolisme. Proses ini dapat meningkatkan suhu tubuh. Aku terus dan terus melangkah.

Dengan suara lirih, aku banyak-banyak membaca takbir. Agak ngeri juga, mendaki di atas bebatuan miring menggunakan tambang seperti ini. Tangan harus kuat menggenggam. Kaki tidak boleh lengah. Aku terus melangkah. Aku tidak boleh lelah untuk selalu mengingatkan ke diri sendiri, kalau dengan izin-Nya aku mampu. Dia Yang Maha Kuasa tidak akan membawaku sejauh ini hanya untuk gagal menuju puncak.

Waktu sholat subuh sekitar pukul 5, aku sholat di atas bebatuan. Udara yang begitu dingin, membuat hidungku sering meler, tangan terasa kaku, dan kaki kram. Setelah menunaikan sholat, meski puncak masih tampak begitu jauh, pemandangan di sekitar telah memberikan hadiah yang indah. Segala rasa capek, lelah, dan pegal terbayar lunas saat aku menyaksikan keindahan di sekelilingku. Maasyaa Allah…

Pastinya, aku ingin mengabadikan momen indah seperti ini dalam memori yang tak terlupakan. Cekrek! Aku menyulap pemandangan ini ke dalam bingkai kamera ponselku, mengabadikan detik-detik keberhasilan ini. Sekecil apapun pencapaian, layak untuk diapresiasi.

Kegelapan tidak pernah abadi, dan di setiap fajar terdapat kekuatan untuk memulai lagi.

Aku lanjutkan langkahku, menggapai ketinggian yang lebih tinggi. Di kejauhan, terlihat siluet para pendaki yang sudah mencapai puncak. Mereka seolah menjadi penanda bahwa petualangan ini memang memiliki puncak yang menggiurkan. Di saat yang sama, banyak para pendaki turun.

You can do it!”, ujar salah seorang pendaki yang turun dan kukenal ketika di Pondok Villosa.

Orang lain saja percaya aku mampu, masak aku tidak. Aku harus tabah. Melihat mereka turun memang memberikan perasaan tidak nyaman, tapi aku harus terus melangkah dan yakin insya Allah aku bisa. Hanya ketabahan yang bisa mengantarkanku ke puncak. Telah terbukti dalam bidang manapun, ketabahan memiliki peran penting untuk berhasil. Kegiatan mendaki gunung ini adalah ujian sempurna untuk menguji setabah apa aku. Aku harus mampu bertahan menghadapi tantangan. Hasrat yang kuat dan kegigihanku pasti akan membawaku sampai puncak. Bi idznillah.

Akhirnya, saat itu tiba. Aku berhasil mencapai puncak yang begitu dinantikan. Yes! Semua usaha dan penat lelah terbayar sudah. Dari puncak, terlihat pemandangan hutan hujan dan Crocker Range. Crocker Range adalah sebuah rangkaian pegunungan yang terletak di negara bagian Sabah, Malaysia, di pulau Borneo. Pegunungan ini dinamai dari seorang kolonial Inggris bernama William Maunder Crocker. Pegunungan Crocker membentang sekitar 120 kilometer dari utara ke selatan di sebelah barat Sabah.

Puncak adalah tempat di mana perjalanan sulit menyaksikan akhir yang berarti, menggambarkan bahwa setiap langkah memiliki arti tersendiri.

Setelah sebelumnya berada di tengah hutan, hanya melihat jalur pendakian dan pepohonan, kini aku di puncak bisa melihat hutan dari atas, melihat pegunungan, awan, dan langit yang indah. Ini mengajarkan bahwa mungkin saat ini kita sedang berada dalam “hutan” kehidupan kita. Namun mungkin kita tidak melihat kehidupan kita sendiri secara benar, karena hanya “pepohonan” yang kita temui. Kita diruwetkan dengan masalah-masalah yang sangat pelik, namun ketika kita melihat “hutan” kehidupan kita dari atas, kita mungkin akan melihat sebagai masalah yang sebenarnya tidak terlalu rumit. Inilah pentingnya kita keluar sejenak dari “hutan” permasalahan kita.

Kita akan melihat lebih baik, lebih banyak dan dengan perspektif lain yang lebih kaya. Kita bisa melihat pekerjaan, keluarga, pergaulan, pikiran, permasalahan kita dari sudut yang lain. Melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lain. Dengan merenungkan dan mengamati hal ini kita akan menemukan sesuatu yang berbeda. Dengan pikiran yang jernih maka tidak ada yang akan membingungkan kita.

Meski di puncak suasana sepi menyelimuti, karena kebanyakan pendaki telah turun. Pemandangan yang menakjubkan ini menyaksikan keberhasilanku. Sepi yang membawa ketenangan, membuat momen di puncak terasa begitu istimewa. Pemandangan yang hanya bisa dicapai dengan tekad yang kuat, tidur dan bangun lebih awal, bersahabat dengan hawa dingin, serta harus bersusah-payah dan berlelah-letih.

Aku sungguh sangat beruntung, bisa menikmati indahnya pemandangan di puncak ini. Pengalaman mendaki gunung Kinabalu ini hanya menjadi lebih baik dan merasa puas ketika mencapai puncak dengan cuaca cerah seperti ini. Di hari sebelumnya, para pendaki tidak bisa mendaki sampai puncak karena hujan lebat dan terpaksa harus turun. Namun kini, aku bisa sampai puncak dan melihat betapa mengagumkannya pemandangan dari atas. Segala puji hanya bagi Allah. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Di puncak, kita melihat dunia dari perspektif yang berbeda, menyadari bahwa setiap rintangan adalah ujian yang membawa kita lebih dekat kepada versi terbaik dari diri kita.
Di puncak, dunia terlihat kecil, tapi kebahagiaan terasa begitu besar.
Di puncak, rasa syukur adalah pemandangan terindah.

Setelah menikmati pemandangan yang memukau dan meresapkan keindahannya melalui lensa ponselku, langkahku pun beranjak turun. Perjuangan belum berakhir. Malah, tantangannya semakin nyata karena kondisi kakiku yang meronta saat setiap langkahku turun aku harus melawan gaya gravitasi dan mengalahkan rasa lelah yang menghampiri.

Lebih jauh di benakku, ingatan akan banyaknya orang yang mengalami kecelakaan ketika turun gunung menjadi pemicu kehati-hatian. Dalam kelelahan dan kepayahan, aku harus memastikan setiap langkah adalah langkah yang mantap dan penuh perhitungan. Keselamatan menjadi prioritas utama di dalam setiap langkah turun yang kuhadapi. Meski sulit, aku yakin setiap usaha akan membawaku ke tempat yang aman. 

Lagi pula, aku sadar betul, tak boleh berlama-lama di puncak, sebab waktu checkout di Laban Rata menantiku. Setiap keterlambatan per jamnya akan berdampak pada denda sebesar 100RM, suatu nominal yang sayang sekali jika harus terbuang begitu saja. Uang segitu lumayan bisa kubelikan oleh-oleh untuk keluarga.

Pendakian yang terasa seperti terburu-buru, memaksa langkahku untuk berjuang dengan waktu. Setiap detik menjadi berharga, tak hanya sebagai penanda kesuksesan mencapai puncak, tetapi juga sebagai tantangan untuk mengejar waktu yang terus berjalan.

Sesuai saran pemandu aku memilih untuk berjalan dengan pola zig-zag dengan tujuan meminimalkan risiko cidera pada kakiku. Aku jadi sadar saat-saat seperti ini peran trekking pole sebenarnya sangat berguna sekali ketika turun. Sangat membantu untuk menjaga keseimbangan badan. Sayangnya aku tidak menggunakannya.

Turun gunung, melangkah perlahan, mata memandang Puncak Seringgit yang berdiri kokoh.
Dalam setiap langkah turun, keselamatan adalah prioritas utama.
“Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml 27: Ayat 88)

Dengan susah payah, akhirnya sampai juga di Laban Rata, aku bersiap untuk checkout karena rupanya aku sudah mencapai batas terakhir checkout yakni sekitar pukul 10:30. Namun, aku baru akan memulai perjalanan turun lagi sekitar pukul 11:30. Aku perlu istirahat dan makan sarapan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. 

Ketika sarapan, aku ngobrol dengan orang lokal yang ramah. Ternyata dia anak IT juga. Pekerjaaannya sebagai Data Analyst. Dia mengatakan bahwa dia bertemu dengan rombongan orang-orang Indonesia dari Pontianak, Kalimantan Barat di sini. Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama untuk menunjukkan ketertarikan. Bagiku bila bisa bertemu dengan orang setanah air di negeri orang tentu serasa seperti menemukan oasis di tengah padang pasir, membawa kebahagiaan tersendiri. Itulah yang membuat sebuah perjalanan semakin berwarna.

Perjalanan turun pun dilanjutkan. Tidak seperti pengalaman mendakiku sebelum-sebelumnya, perjalanan turun dari gunung Kinabalu ini menjadi tantangan yang jauh lebih berat bagiku. Kelelahan, nyeri otot, dan rasa sakit pada kaki menciptakan beban tersendiri karena aku harus melibas jalur dengan berjalan miring dan memanfaatkan pegangan pagar ketika melewati tangga atau bebatuan. Dalam situasi sulit, aku bahkan memilih mengesot untuk memudahkan perjalanan ketika menuruni tangga. Aku harus berdamai dengan kondisi ini. Sungguh perjalanan yang amat melelahkan. Namun seberapapun lelahnya aku, kelelahan ini pasti akan segera sirna. Yang terpenting, otot-ototku bekerja lagi. Tahan sebentar rasa sakit. 

Di tengah perjalanan turun, aku tak terduga bertemu dengan rombongan pendaki dari Indonesia, tepatnya dari Pontianak, Kalimantan Barat, yang sempat diceritakan orang lokal di Laban Rata tadi. Kebahagiaan melanda hatiku, seolah-olah memanggilku untuk bersua dengan sesama tanah air. Mata ini menemukan kilau persaudaraan di mata mereka, dan senyuman hangat seakan menghubungkan hati kami. Rasa kebersamaan dengan mereka menghadirkan kehangatan di tengah dinginnya udara gunung.

Kami berbagi cerita dan tawa. Di atas tanah tinggi ini, kami membawa pulang potongan kenangan berharga dari pertemuan yang tak terduga ini. Sebuah perjumpaan yang menandai bahwa, di gunung yang berdiri kokoh ini, persatuan dan kebersamaan tetap mengalir di setiap detik perjalanan.

Akhirnya aku pun tiba di Pondok Timpohon yang menyambutku dengan ucapan “Selamat Kembali”. Seakan-akan gunung Kinabalu ini sendiri yang menyambut kepulanganku. Setiap detik di gerbang ini terasa seperti panggilan hangat dari gunung yang telah menjadi saksi setia perjalanan panjangku. Ucapan selamat yang seolah menyiratkan penghargaan atas upaya melewati setiap rintangan dalam pendakian yang penuh liku ini. 

Meski waktu tiba dua jam lebih lambat dari yang diharapkan, rasa syukur tetap menyelimuti diriku; aku berhasil menghadapi setiap tantangan dengan keberanian dan tekad yang tulus. Dan dunia ini masih menyediakan banyak tantangan lain yang dapat menjadi sumber pertumbuhan dan pengembangan diri. Sampai jumpa di pendakian berikutnya!

Pendakian ini selesai, tapi semangatku belum.

Klaten, 26 Januari 2024