Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi wa laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim. Pukul 8 pagi aku berangkat naik motor dari Klaten menuju Basecamp Merbabu Pak Parman, Boyolali. Tiba di sana saat matahari telah meninggi, tepat pukul 10. Kedatangan di basecamp menjadi awal dari petualangan yang dinanti di puncak gunung Merbabu yang mempesona. Namaku pun dipanggil, dan diminta bergabung dengan rombongan open trip. Ada 6 pendaki termasuk aku dan 1 guide-porter yang menemani. Aku mengenalkan diri ke semua pendaki satu per satu. Kamipun memulai pendakian dengan yel-yel untuk menghidupkan suasana:
”Naik semangat, turun selamat!”
Mengukir Kenangan Baru
Merbabu. Gunung berketinggian 3142 mdpl ini menempati posisi ketiga dalam daftar gunung tertinggi di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet dan Gunung Sumbing. Gunung Merbabu adalah gunung pertama yang kudaki ketika aku mulai tertarik pada hobi mendaki gunung setelah ”teracuni” oleh salah seorang teman kontrakan semasa kuliah dulu. Di gunung Merbabu inilah dulu aku mengenal seorang pendaki bernama Mas Imam, yang sekarang kembali mendaki bersama setelah berlalu 8 tahunan.
Awalnya, aku dan Mas Imam ingin mendaki gunung Prau yang berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, setelah kepulanganku dari Kinabalu. Namun rencana mendaki ke gunung Prau pupus karena mendapat kabar bahwa kegiatan pendakian Gunung Prau sementara ditutup secara total mulai tanggal 22 Januari – 10 April 2024. Selama penutupan kawasan Gunung Prau, akan dilakukan perbaikan sarana pendakian, reboisasi, pemulihan/revitalisasi untuk menjaga dan memelihara keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, beserta ekosistemnya, serta antisipasi cuaca buruk.
Pihak penyelenggara open trip menyarankan kami untuk ikut ke gunung Merbabu minggu depannya, tepatnya tanggal 10-11 Februari 2024. Akhirnya aku dan Mas Imam setuju untuk alih pendakian dari gunung Prau ke gunung Merbabu. Kami sudah pernah mendaki ke gunung Merbabu sebelumnya. Jadi ini adalah pendakian kami yang kedua kalinya ke gunung Merbabu melalui jalur pendakian yang sama yaitu via Selo, Boyolali. Jalur ini memang cukup bersahabat bagi pendaki berumur seperti kami, meski merupakan jalur paling panjang dibanding jalur lainnya, tetapi banyak jalur landainya, tidak terlalu curam dan terdapat pemandangan padang sabana yang sangat indah.
Setelah meneriakkan yel-yel semangat itu, kami bertujuh memulai pendakian dari ketinggian sekitar 1800 mdpl. Suasana ramah dan akrab dengan sesama pendaki mulai terjalin. Kami tak lupa bertukar cerita mengenai asal kami dan pengalaman mendaki yang telah kami alami.
Kami melewati hutan pinus menuju Pos 1 “Dok Malang”. Nama “Dok Malang” atau “Ledokan Malang” dalam bahasa Jawa berarti cekungan yang arahnya tidak sejajar dengan lembah. Pos 1 ini memiliki ketinggian sekitar 2189 mdpl. Kami berhenti sejenak untuk istirahat, minum air, makan cemilan sambil menikmati pemandangan Rek-rekan (Presbytis comata fredericae) yang bergelantungan di pepohonan.
Perjalanan kami berlanjut menuju Pos 2 “Pandean”. Hujan ringan turun, membasahi jalur pendakian. Kami segera mengenakan jas hujan untuk melindungi diri dari basah yang dapat menurunkan suhu tubuh dan meningkatkan risiko hipotermia. Perlindungan ini juga membantu menjaga barang bawaan kami agar tetap kering dan nyaman selama perjalanan. Kami beristirahat sejenak di Pos Bayangan “Simpang Macan” untuk mengisi kembali energi yang terkuras karena jalur menuju Pos 2 lumayan menguras tenaga. Setibanya di Pos 2, kami manfaatkan kesempatan ini untuk menikmati makan siang bersama sebelum melanjutkan perjalanan.
Lanjut ke Pos 3 “Batu Tulis” yang berketinggian 2593 mdpl. Jalur pendakian dari Pos 2 ke Pos 3 benar-benar menantang. Kami merasakan perlunya menjaga semangat dan ketenangan dalam hati di tengah perjalanan yang penuh tantangan ini. Sangat dianjurkan untuk banyak berdzikir, mengucapkan takbir sebagai pengingat akan kebesaran Sang Pencipta.
Ketika kami tiba di Pos 3, pemandangan tenda-tenda yang telah didirikan menyambut kami. Di sekitar area tersebut, kami melihat banyak tumbuhan Edelweiss Jawa (Anaphalis Javanica) yang tumbuh subur. Tumbuhan ini memiliki bunga putih keperakan yang menarik, dengan daun-daun berbulu halus yang tampak seperti salju. Bunganya yang kecil dan berkelompok di ujung batang memberinya penampilan yang menawan dan istimewa.
Pendakian dilanjutkan ke pos berikutnya, yang menjadi tujuan utama kami di hari itu, tempat di mana tenda kami didirikan dan menjadi rumah sementara di bawah langit terbuka. Kami akan bermalam di sana, menyelami hubungan yang mendalam dengan alam dan menemukan kedamaian yang sulit didapat di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.
Tiba di Pos 4 “Sabana I”, kami segera bersiap untuk melaksanakan sholat, menggunakan air minum yang kami bawa untuk berwudhu. Di sepanjang jalur pendakian Selo ini tidak ada sumber mata air . Jadi kami berwudhu dengan air minum yang kami bawa. Maka amat disarankan bagi pendaki untuk bawa air minum yang cukup jika melalui Jalur Selo, minimal 3-4 liter.
Setelah menunaikan sholat jamak Dzuhur-Ashar, kami berkumpul untuk melepas kepenatan sembari menikmati pisang goreng, di tengah dinginnya suhu gunung Merbabu. Suasana yang tenang dan sejuk memperkuat ikatan antara kami, sambil kami berbagi cerita dan tawa.
Kami berkumpul untuk makan malam setelah menunaikan sholat Maghrib-Isya’. Rasanya, makan makanan di gunung itu hanya memiliki dua rasa: enak dan enak sekali. Aku yang biasanya sulit makan, hidangan di gunung sungguh berhasil membangkitkan selera makanku.
Sekitar jam 8 malam kami pun beranjak tidur. Memulihkan tenaga untuk pendakian ke puncak esok pagi. Aku biarkan tubuh dan pikiranku beristirahat sepenuhnya. Aku resapi kenyamanan yang ditawarkan oleh sleeping bag baruku yang kubeli secara daring. Dengan bahan yang lembut dan insulasi yang baik, sleeping bag ini memberikan kehangatan yang sangat kuperlukan di tengah suhu dingin gunung Merbabu.
***
Kali Ini Lebih Cerah
Pemandu menawarkan kopi atau teh kepada kami untuk menghangatkan tubuh. Aku memilih kopi. Tidurku kurang nyenyak semalam. Aku butuh doping untuk membantuku merasa lebih bertenaga, tetap terjaga dan aktif. Aku biarkan setiap tetesnya menghangatkan jiwa yang beku oleh dinginnya dini hari, mengubah asam lemak menjadi energi dengan merangsang sistem saraf pusat sehingga lebih menghemat karbo, meningkatkan daya tahan, fokus, dan kewaspadaan.
Dengan langkah mantap, kami memulai perjalanan menuju puncak pada kisaran pukul 4 pagi. Puncak Kentengsongo dan Triangulasi adalah tujuan utama kami dalam petualangan ini. Hari itu, beruntunglah kami karena langit mulai cerah dan bersahabat. Kabut tipis yang menyelimuti perjalanan kami mulai berangsur menghilang, membuka jalan bagi kami untuk menerobos kegelapan fajar yang menyelimuti jalur kami.
Di tengah perjalanan, kami melaksanakan sholat Subuh berjama’ah di Pos 5 “Sabana II”. Meskipun masih dalam kegelapan, kami yakin bahwa cahaya iman dan kebersamaan akan menerangi langkah-langkah kami. Setelah meresapi keheningan subuh dan menyatu dengan alam dalam sholat berjama’ah di bawah langit yang masih dipenuhi kegelapan, kami melanjutkan perjalanan kami dengan semangat walau angin dingin masih menyergap tubuh kami.
Sinar matahari yang merayap pelan di atas cakrawala memberikan semangat baru untuk melanjutkan perjalanan kami, namun puncak yang menjadi tujuan kami masih tampak begitu jauh, menantang kami untuk terus maju. Kami terus berjalan dengan tekad yang bulat, menantikan momen ketika langkah terakhir kami akan mencapai tujuan yang begitu dinantikan.
Kami mengabadikan setiap momen indah dan penuh makna dalam perjalanan kami menuju puncak. Alam mempersembahkan keajaiban-keajaiban yang menjulang tinggi di sekeliling kami, mempesonai hati dan jiwa kami dengan kemegahan yang tak terungkapkan. Kami tangkap gemerlap mentari pagi dalam gambar, sebagai kenang-kenangan abadi dari petualangan kami yang tak terlupakan.
Saat yang dinantikan pun tiba. Kami akhirnya mencapai Puncak Kentengsongo. Di atas sana, di puncak yang kami dambakan, kami disambut oleh panorama yang memukau. Cahaya mentari pagi yang berkilauan memancar ke dalam mata kami, menghapus kelelahan dan menyirami semangat kami dengan kehangatan yang menyegarkan. Di momen ini, kami merasakan kebahagiaan yang melimpah, menyadari bahwa setiap langkah yang kami ambil telah membawa kami ke tempat ini. Puncak Kentengsongo bukan hanya tujuan, tetapi juga bukti dari tekad kami untuk mengatasi setiap rintangan dan mencapai impian kami.
Tanpa kenal lelah, kami melanjutkan perjalanan kami menuju puncak berikutnya, Puncak Triangulasi. Di bawah sinar matahari yang semakin terang, kami merasa semakin bernyali dan siap untuk menaklukkan tantangan baru yang menunggu di depan. Dengan hati yang penuh semangat dan pandangan yang terarah pada tujuan, kami terus berjalan, menembus setiap rintangan dengan tekad yang kokoh. Puncak Triangulasi menanti untuk dijelajahi, dan kami siap untuk mengukir cerita baru di sana.
Sampai di puncak Triangulasi, suasananya sangat ramai. Kami sangat menikmati pemandangan yang ada sembari nostalgia dengan pendakian sebelumnya yang berbeda karena berkabut saat itu. Aku dan Mas Imam sepakat bahwa pemandangan kali ini lebih indah dari pendakian pertama kami karena cuaca lebih cerah. Dari puncak Triangulasi, panorama yang terbentang sungguh menakjubkan. Delapan gunung muncul tipis sebagai latar belakang bagi pemandangan alam yang menawan. Di antara mereka; Gunung Ungaran, Telemoyo, Andong, Sumbing, Sindoro, Prau, Merapi, dan Lawu menjulang dengan keindahan masing-masing.
Aku tersenyum, bersyukur, merasakan kepuasan melihat pemandangan kali ini yang lebih indah daripada yang pernah kulihat sebelumnya walaupun tertutup awan. Sungguh, alam memiliki cara untuk memperlihatkan keajaiban dan keindahannya dalam setiap momen yang berbeda.
***
Turun dengan Penuh Syukur
Meskipun mencapai puncak adalah momen yang tak terlupakan, perjalanan belum sampai di akhir. Kami turun setelah puas mengambil gambar pemandangan dari puncak Triangulasi. Turun dari puncak gunung adalah bab baru dari kisah epik ini, di mana kita harus tetap waspada dan hati-hati sebagaimana saat mendaki. Medan yang menurun dan jalur yang licin bukanlah ujian yang sepele; benar-benar menguji ketahanan fisik dan mental. Tapi meski tantangan itu besar, kami berdiri tegak, siap menghadapi setiap langkah dengan keberanian yang sama seperti yang membawa kami ke puncak. Karena dalam setiap langkah turun ini, kami mengukir jejak-jejak keberanian dan keteguhan yang akan dikenang selamanya.
Setiap orang punya cara sendiri dalam menikmati perjalanannya. Bagiku, untuk menikmati perjalanan turun gunung adalah dengan melibatkan diri sepenuhnya dalam setiap langkah yang diambil, menghirup udara segar dengan penuh syukur, dan merasakan setiap sentuhan alam di sekitar. Selain itu, berinteraksi dengan teman-teman pendaki, berbagi cerita, tawa, dan kesulitan bersama-sama, membuat pengalaman turun gunung menjadi lebih berarti. Menikmati perjalanan turun gunung adalah tentang menghadapi tantangan fisik dan mental dengan penuh keberanian, serta menghargai keindahan dan keajaiban alam yang mengelilingi kita.
Kurang lebih pukul 8:30 kabut mulai membungkus Merbabu. Tak lama setelah itu aku sampai di tenda yang bersemayam di Pos 4 “Sabana I”. Syukurnya kakiku dalam kondisi masih aman. Aku tidak perlu menggunakan pereda nyeri otot. Ketika aku datang, satu teman pendaki sudah berada di sana lebih dulu. Dia mengemasi barang-barangnya. Akupun segera melakukan hal yang sama, mulai mengemas sleeping bag dan barang bawaan lainnya, sebelum akhirnya tiduran sejenak, menyegarkan tubuh yang lelah.
Sekitar satu jam kemudian langkah-langkah gembira mulai terdengar dari kejauhan. Suara ceria yang semakin mendekat memecah keheningan pagi. Itu adalah teman-teman seperjalanan kami, rombongan open trip yang tertinggal.
Perjalanan turun kami lanjutkan setelah sarapan. Jalur yang menjadi tantangan ekstra adalah dari Pos 3 ke Pos 2. Jalurnya yang licin dan sedikit berlumpur meningkatkan risiko tergelincir dan terjatuh. Aku sendiri menyaksikan banyak pendaki terpeleset dan jatuh meskipun mereka menggunakan trekking pole sebagai penopang. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kehati-hatian menjadi kunci penting untuk memastikan keselamatan selama perjalanan turun. Selain itu banyak membaca dzikir terutama ucapan tasbih ketika turun gunung adalah hal yang penting bagi para pendaki muslim.
Aku sampai duluan di basecamp. Tiba sekitar pukul 12:30. Total waktu yang kutempuh dari Pos 4 “Sabana I” menuju basecamp adalah 2 jam. Alhamdulillah. Akhirnya bisa kembali dengan selamat, sesuai dengan yel-yel yang kami teriakkan di awal pendakian: “Naik semangat, turun selamat!”.
Perasaan lega setelah berhasil sampai puncak, pemandangan yang indah, udara segar, lingkungan alami yang masih terjaga, kebersamaan dengan rekan pendaki, pengalaman berbagi bersama-sama, dan pulang dengan selamat adalah hal-hal yang sangat aku syukuri dalam pendakian ini.
Merbabu memang juara. Padang sabananya top. Pemandangan di puncak mantap. Aku memang belum pernah ke gunung lain seperti Semeru atau Rinjani yang katanya juga sangat indah pemandangannya, jadi belum bisa membandingkan. Semoga dimudahkan untuk ke sana. Aamiin yaa Mujiibassaailiin.
Targetku berikutnya adalah aku ingin sekali bisa tektokan atau trail running. Namun, aku menyadari bahwa pencapaian itu membutuhkan stamina yang unggul. Istirahat dilakukan dalam jeda-jeda pendakian yang singkat, tanpa banyak waktu untuk bersantai. Tapi aku yakin, dengan ketekunan dan latihan yang konsisten, aku akan mencapai tujuan ini.
Kegiatan mendaki adalah olahraga yang bukan hanya tentang mencapai puncak, tetapi juga tentang perjalanan yang membentuk karakter, ketahanan, dan penghargaan terhadap alam. Mendaki gunung adalah tentang pengalaman, pencapaian pribadi dan eksplorasi alam.
Aku sangat menyukai dan menikmati kegiatan mendaki ini. Mendaki adalah olahraga yang lengkap karena melibatkan berbagai aspek fisik dan mental. Mendaki membutuhkan kekuatan fisik yang baik, terutama pada otot-otot kaki, lengan, dan inti tubuh. Ketika mendaki, kita harus mengangkat tubuh kita sendiri melalui medan yang beragam, termasuk tanjakan curam, batu besar, dan medan yang tidak rata. Aktivitas mendaki membantu meningkatkan ketahanan kardiovaskular kita. Terutama saat melakukan pendakian yang panjang dan terjal, jantung dan paru-paru kita akan bekerja lebih keras untuk memompa oksigen ke seluruh tubuh.
Mendaki membutuhkan keseimbangan yang baik dan koordinasi tubuh. Kita harus dapat menavigasi medan yang berbatu atau licin dengan cermat, menggunakan kaki dan tangan kita secara bersamaan untuk mendukung dan menyeimbangkan gerakan kita. Mendaki juga melatih ketahanan mental. Terutama saat menghadapi tantangan seperti ketinggian, cuaca ekstrim, atau ketidakpastian medan, kita perlu memiliki ketenangan pikiran dan kemampuan untuk mengatasi rasa takut atau kecemasan.
Aktivitas mendaki memungkinkan kita untuk terhubung dengan alam secara langsung. Menghabiskan waktu di luar ruangan, merasakan kekuatan alam, dan menghargai keindahan alam dapat memberikan manfaat kesehatan mental dan emosional yang signifikan. Mendaki juga membutuhkan fleksibilitas dan mobilitas tubuh yang baik. Kita mungkin perlu menjangkau, melompat, atau merayap melalui medan yang sulit, yang membutuhkan rentang gerak yang luas dan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi. Kombinasi dari semua aspek ini membuat mendaki menjadi olahraga yang lengkap, menantang, dan memuaskan bagiku.
Don’t stop hiking. If you love it, keep doing it!
Yogyakarta, 16 Februari 2024